Setiap Pribadi Berarti – Ada sebuah pengalaman yang sangat membekas di hati saya. Tetangga saya diberi karunia 2 orang anak, putri semua. Keduanya sangat baik dan bertalenta. Yang menjadi perhatian saya adalah putrinya yang kedua. Tentunya bukan kemauan dan doanya, sehingga ia terlahir dengan kondisi fisik yang agak berbeda dari kakaknya atau anak lainnya. Tangan kanannya tidak bisa lurus dengan sempurna dan jalannya memang tidak seindah harapan orang tuanya (minimal itu yang dapat saya simpulkan). Orang lain sering mengatakan ia adalah anak berkebutuhan khusus, atau anak istimewa di istilah saya. Mengapa anak istimewa? Karena memang ia sangat istimewa, bahkan saking istimewanya, ia tidak berhenti untuk terus berusaha sekuat tenaganya untuk sekadar bisa membuat senang orang tuanya, khususnya membuat bangga mamanya. Dengan kondisi seperti itu, ia terus belajar tiada henti di waktu kosong dan sisa tenaganya. Dimulai dari bangun pagi yang membantu di dapur, cuci piring, dan diakhiri dengan menyapu halaman rumah yang terasa sangat luas bagi tangannya yang tidak bisa memegang sapu dengan nyaman. Tidak terbayang betapa susah dan lama waktu adaptasinya untuk mengerjakan semua itu dengan kondisi fisik seperti itu. Hari-hari dilalui di sekolah (yang mungkin ia juga harus menanggung ketidaknyaman perlakuan teman-temannya karena kondisi fisiknya), dan pulang magrib dan lanjut dengan pekerjaan rumah, yang mungkin bagi anak normal pun akan terasa capai.

Dan yang membuat trenyuh adalah, semua itu masih ditambahkan dengan omelan-omelan yang selalu melihat dari hal yang kurang. Selalu ada yang kurang di mata mamanya. Terlebih jika dibandingkan dengan kakaknya. Dan semua itu dikatakan persis di depan putri keduanya, nyaris setiap hari sehingga saya pun hafal semua kata-katanya, plus sedikit bonus nyeri di hati membayangkan perasaan putrinya.

Entah mengapa, segala usaha dan pengorbanan dari sang putri sangat sulit dilihat dan dirasa oleh mamanya. Tetapi setitik daun kering di pojok halaman rumah yang baru saja disapu putrinya, terlihat oleh mata mamanya dan akan membuahkan minimal 2 menit waktu untuk menjadi omelan. Sungguh, kebaikan hati, rasa ingin membanggakan orang tua, usaha keras di sekolah (nilai raport sangat bagus dan rangking 2 malah), serta betapa peka dan rapuhnya dia seperti tertutup kabut di mata mamanya. Bahkan mungkin isakan tangis dalam kelamnya malam-malam yang harus ia lalui pun tidak terdengar di telinga mamanya. Entah mengapa, kehadiran pribadi anak keduanya seakan tidak berarti baginya dan hanya menjadi beban. Entah mengapa, kilauan intan itu dapat menyilaukan mata mamanya, di saat kami semua tetangga bisa merasakan hangatnya….

Setiap pribadi adalah emas

Sedikit cerita yang senada dengan apa yang dialami oleh putri tetangga saya di atas. Masih tentang keberadaan kita sebagai manusia yang masing-masing punya keunikan dan peranan yang berbeda, tentang kesadaran bahwa setiap pribadi berarti bagi sekitarnya.

Konon di Jepang hiduplah seorang petani tua yang setiap hari harus menelusuri jalan setapak beberapa kilometer ke ladangnya sambil menenteng sebuah ember penuh berisi air. Karena termakan usia, lambat-laun ember itu pun aus hingga berlubang pada salah satu sisinya. Akibatnya jumlah air yang terangkut setiap hari selalu berkurang menjadi dua per tiga. Meskipun demikian, petani itu tidak pernah bermaksud meng- ganti ember kesayangannya itu.

Di sepanjang jalan setapak yang dilalui petani itu, bunga- bunga tapal kuda senantiasa tumbuh subur bermekaran. Tapi ketika musim kemarau tiba, sedikit demi sedikit bunga-bunga itu layu dan mati. Hanya bunga yang persis dilalui si ember bocor tetap tumbuh dengan indah, membuat Pak Tani tetap bertekun di bawah cuaca yang kurang bersahabat.

Tapi hal itu tidak disadari oleh si ember. Ia hanya berpikir tentang dirinya yang sudah usang, tidak berguna dan hanya menyusahkan. Maka mulailah si ember bocor mengeluh, tidak lagi berminat mengerjakan tugasnya.

Petani yang menyadari sikap ember itu mulanya hanya diam saja hingga pada suatu hari tidak tahan lagi mendengar keluh kesah embernya.

“Hai emberku, mengapa kamu mengeluh terus karena bocor?”

“Iya Tuan,” jawab ember dengan lunglai, “aku frustrasi karena tidak bisa melaksanakan tugasku dengan baik.”

“Apa benar begitu?” tanya petani lagi, “siapa yang setiap hari selalu menemaniku membawa air?”

“Saya Tuan,” ember bocor itu menjawab, masih dengan tanpa semangat, “tapi saya tak sanggup lagi membawa semuanya ‘kan, Tuan?”

“Betul,” kata petani. “Terus, memang kenapa kalau bocor?” petani balik bertanya. 

“Yah, saya merasa tidak berguna, cuma merepotkan tuan saja,” ungkap si ember.

Melihat ember yang begitu kehilangan jiwa, petani mulai memperlambat bicaranya. Dengan penuh kesabaran, ia berkata, “Coba layangkan matamu ke sekeliling dan ceritakan apa yang engkau lihat?”

Si ember memalingkan mukanya ke kiri dan ke kanan.

“Tidak ada yang istimewa Tuan, hanyalah bunga tapal kuda yang setiap hari aku lihat.”

“Benar sekali,” kata sang petani tua, “sekarang coba kamu melayangkan pandanganmu lebih jauh lagi, apakah kamu juga menemukan hal yang sama?”

Kembali si ember melihat kiri kanan. Beberapa saat kemudian dia pun menjawab, “Kegersangan Tuan. Hanya tanah gersang yang aku lihat. Bunga-bunga mengering, debu-debu beterbangan, tidak ada kehidupan sama sekali….”

“Tepat sekali wahai emberku,” kata petani, “apakah kamu tidak merasa aneh dengan semuanya itu? Kegersangan ada di mana-mana, namun di dekat kita justru tumbuh dengan subur bunga tapal kuda yang indah. Kamu tahu kenapa bisa begitu?”

“Tidak tuan. Bisa tuan jelaskan kepadaku?”

“Ember… ember. Itu semua berkat kamu. Selama ini tidak pernah kamu sadari, bahwa kamu adalah sumber kehidupan bagi bunga tapal kuda di sekeliling kita. Memang kamu bocor, tapi justru dari sanalah mereka mendapatkan air dan kesegaran sehingga mereka bisa bertahan hidup. Jadi janganlah pernah menganggap dirimu gagal, tetapi berbanggalah untuk itu. Sadarilah bahwa setiap pribadi berarti, bahkan bagi lingkungan sekitarmu.”

Semenjak itu si ember menemukan kembali kegembiraan dan kebahagiaan dalam melaksanakan tugasnya.

Kisah di atas berbicara bahwa di dunia ini tak seorang pun yang sempurna. Setiap orang mempunyai kelebihan dan kekurangan masing-masing, Namun harus disadari, justru dengan kekurangan dan ketidakmampuan tersebut sering kali berfungsi sebagai rahmat bagi orang lain. Dengan kata lain, setiap orang memiliki panggilan khusus untuk saling melengkapi. Sungguh beruntung nasib ember dari cerita di atas jika dibandingkan dengan nasib putri kedua tetangga saya. Entah harus sampai kapan ia akan bisa merasakan kegembiraan seperti ember tadi. Andai saja, sang mama mempunyai kebijaksanaan dan kedewasaan sebagai orang tua seperti sang petani dalam cerita di atas walaupun hanya 20%, saya yakin itu sudah cukup bagi sang anak. Ahh…. Anak yang malang sekali.

Ada orang yang begitu berambisi harus serba sempurna. Mungkin ini juga dialami tetangga saya tadi, ia ingin mempunyai dua anak yang sama sempurnanya sesuai pandangannya. Padahal kenyataannya, kedua putrinya juga sudah sempurna sebenarnya, putri pertama secara fisik, yang kedua secara karakter. Hal itu bukan saja mustahil secara manusiawi, tetapi inilah keadilan hidup, bahwa kekurangan kita akan ditutupi oleh kelebihan orang lain dan sebaliknya juga. Karenanya, terima lah semuanya itu tanpa harus merasa sedih dan malang.

Coba bayangkan seandainya semua orang sudah sempurna Kita tidak memerlukan orang lain lagi. Kalau semua orang sudah pintar, maka tidak perlu lagi seorang guru. Demikan juga kalau setiap orang sudah cantik, maka salon-salon kecantikan akan tutup. Begitu juga seandainya setiap orang bisa bernyanyi seindah malaikat, maka tidak dibutuhkan lagi artis dan aktor.

Bagaimana dengan diri Anda? Sudahkah menemukan potensi dan kelebihan yang Anda miliki? Seandainya Anda menemukan kekurangan atau kelemahan, terimalah itu dengan hati yang bersyukur, sebab dengan demikian Anda akan dilengkapi oleh orang lain serta memberi kesempatan bersama- sama untuk bertumbuh.

Itulah esensi panggilan hidup, bahwa setiap orang terpanggil untuk saling melengkapi, setiap pribadi berarti, saling mendukung, dan saling bertumbuh menuju kehidupan yang lebih baik. Marilah mulai sekarang kita rubah cara pandang kita. Setiap pribadi yang ada dalam kehidupan kita pasti terlahir dengan tujuan kebaikan. Kita hanya butuh fokus untuk melihat kebaikan itu… Karena setiap pribadi berarti bagi sesama dan bagi Tuhan.

Setiap manusia adalah manusia yang unik dan, pada kenyataannya, karya seni terbesar sepanjang masa.”

Thomas Bernhard