Mengejar Kebahagiaan – Beberapa topic dan pertanyaan yang sering diajukan di kolom konsultasi media massa adalah tentang kebahagiaan hidup. Banyak yang dulu yakin bahwa hidupnya akan bahagia jika mempunyai istri atau suami yang diidamkan, tetapi setelah bertahun-tahun kemudian mulai dirasakan bahwa kebahagiaan yang diidamkannya semakin menjauh. Seiring intensitas pertengkaran, mulailah timbul keraguan, jangan-jangan ia telah salah memilih suami atau istri, dan otomatis yakin bahwa ia tidak akan bahagia jika terus mempertahankan kehidupan berkeluarganya. Begitu banyak kini perceraian yang terjadi di sekitar kita.

Ada juga yang mengalami kekosongan, kesepian, dan hidupnya gersang, padahal semua mimpinya yang dulu telah tercapai. Karirnya telah mentok ke tingkat yang dulu diidamkan, demikian juga dengan materi yang diperoleh. Tetapi ternyata kepuasan yang menyertainya hanya sebentar. Dulu berpikir, saat nanti sudah menjadi manager dan bisa membeli ini dan itu, pasti hidupnya akan puas, sehingga kebahagiaan pun akan dirasakan selamanya. Tetapi ternyata tidak kenyataannya. Setelah tercapai, pikiran dan perasaan kini dipenuhi berbagai keinginan lagi dan lagi. Sampai kapan akan terus begini? Hidup serasa hanya mengejar sesuatu terus setiap waktu…..

Pun saya juga pernah punya teman yang dulu pernah berangan, alangkah bahagianya jika ia bisa punya wajah dan penampilan yang menarik seperti idolanya. Ia pun kemudian bekerja keras setiap hari pergi ke Gym, berharap minimal tubuhnya akan berotot dan atletis seperti idolanya. Tetapi yang terjadi kemudian, waktunya hanya dihabiskan hanya untuk memenuhi keinginan tentang fisiknya. Kuliah menjadi terbengkelai, hingga semuanya sepi saat teman seangkatan mulai meninggalkannya karena lulus terlebih dahulu. Dan saat badannya mulai terbentuk, goncangan pun menghampiri keyakinannya. Ternyata idolanya tersangkut kasus dan harus mendekam di penjara. Kejadian itu ternyata mempengaruhi dia juga, seakan dia juga yang terkena kasus. Kebahagiaan yang diidamkannya ternyata sangat semu, apalagi karena meletakkannya kepada orang lain. Dia menjadi sedih dan luntang-lantung…..

Betapa banyak lagi contoh-contoh actual yang menggambarkan pencarian orang akan kebahagiaan atau mengejar kebahagiaan seumur hidupnya. Dan rata-rata mengatakan bahwa akan memperoleh kebahagiaan jika suatu saat memperoleh ini dan itu, akan bahagia jika istri/suaminya begini dan begitu, akan bahagia jika cita-citanya terkabul, dan lain-lain. Jadi kapan akan bahagia? Ya nanti, jika sesuatu yang diinginkan itu tercapai…. Dan akhirnya, dimana kebahagiaan itu akan diperoleh?

Jika melihat jawaban-jawaban yang dilontarkan oleh orang-orang di atas tadi, maka jelas, rupanya kebahagiaan itu terletak di suami/istrinya, di materi, di jabatan yang diinginkannya sejak lama, di cita-cita semasa kecil, di pundak orang tua, di keadaan yang diharapkan, dan lain-lain. Tetapi benarkah kebahagiaan terletak disana? Jika benar bahwa seseorang  akan bahagia jika beristri/bersuami orang yang dia idamkan, mengapa begitu ada perselisihan lalu merasakan sedih, dan tidak jarang berakhir pada perceraian? Jika benar bahagia tidaknya hidup seseorang terletak di materi yang diimpikan, lalu bagaimana nasib hidupnya selama belum mencapai materi itu? Dan mengapa setelah tercapai pun hati tetap menginginkan hal-hal yang lain lagi? Apakah seperti itu? Berarti hidup kita, dan kebahagiaan kita, terletak pada sesuatu dan orang lain. Alangkah rentan dan riskannya kebahagiaan itu jika seperti itu.

Mengejar Kebahagiaan

Sungguh akan sangat sulit untuk bahagia jika mengejar kebahagiaan itu terletak di materi dan kehadiran orang lain, karena dalam hidup tidak ada yang tetap. Semua pasti berubah. Demikian juga dengan materi yang kita miliki. Itu akan mudah berubah. Sekarang punya ini dan itu, besok bisa saja rusak bahkan hilang. Berarti saya menjadi tidak bahagia bukan? Jika tidak rusak atau hilang pun, rasa puas yang menyertainya tidak akan bertahan lama, dan segera akan kita sadari bahwa bukan disana kita akan bahagia. Demikian juga dengan orang-orang terdekat kita. Mereka juga adalah pribadi yang pasti berubah di mata kita. Entah berubah semakin baik, atau semakin kurang baik, sama saja, suatu saat akan tidak sesuai dengan yang kita bayangkan dulu. Saat seperti itulah, akan muncul pertanyaan, bisakah saya bisa bahagia dengannya? Dan mulailah muncul yang namanya penderitaan.

Saya rasa memang akan seperti itu. Siapa pun yang menduga dan mencari kebahagiaan melalui materi dan orang lain, entah seberapa dekatnya hubungan dengan orang lain itu, tidak akan mendapatkannya. Mungkin sesaat merasa bahagia, tetapi pasti suatu saat akan menemukan kekecewaandan berakhir penderitaan. Mengapa? Ya karena kebahagiaan itu tidak terletak pada barang, pun tidak terletak di pundak orang lain, bahkan di suami/istri/orang tua/anak/dan lain-lain. Jadi percuma mencari dan menggantungkan kebahagiaan pada mereka. Seperti suatu pencarian yang tidak akan pernah berakhir dan menjadi sebuah ironi, karena yang dicari sebetulnya ada di dalam diri kita masing-masing…..

Kebahagiaan adalah sebuah rasa pemenuhan batin/hati kita terhadap kehidupan. Bukan soal kepuasan terhadap sesuatu, tetapi rasa penuh, takjub, dan rasa syukur terhadap segala hal. Kita bisa bahagia jika bisa melihat segala sesuatu secara apa adanya, tanpa ada maksud rasa memiliki secara mutlak. Kita bisa bahagia jika bisa bersyukur akan kehadiran suami/istri di sisi kita, dengan tetap membiarkan mereka menjadi pribadi yang bebas dengan jati dirinya. Kita bisa bahagia jika bersyukur atas segala sesuatu yang ada di dalam diri kita, bisa bersyukur atas segala anugerah yang diberikan ke kita, dengan tetap memperlakukan benda-benda itu sebagaimana fungsinya, yakni sekedar benda yang bisa membantu segala aktivitas dan mendukung berbuat baik bagi sesama. Kita bisa bahagia jika bisa melihat segala sesuatunya secara obyektif dan tanpa kehendak melekat padanya. Jadi kemanakah kita harus mengejar kebahagiaan kita? Tidak kemana-mana, cukup tengok, teliti, dan buka kran hati kita…Selalu bersyukurlah akan segala sesuatu, dan melihat segala sesuatunya tidak hanya dari sudut pandang pribadi dan ego kita. Pandanglah segala sesuatu dari sudut pandang orang lain, dan tentunya sudut pandang kehendak Tuhan. Jika mampu pelan-pelan melaksanakan hal itu, maka tidak perlu lagi kita mengejar kebahagiaan, karena dia yang akan mendatangi kita.(Set)

Kebahagiaan adalah sebuah rasa pemenuhan batin/hati kita terhadap kehidupan. Bukan soal kepuasan terhadap sesuatu, tetapi rasa penuh, takjub, dan rasa syukur terhadap segala hal.

Set