Diandalkan Untuk Perkara Kecil – Sekitar 20 tahun yang lalu, tetangga saya yang seorang direktur di sebuah perusahaan garmen pensiun. Uang pensiun yang diperoleh di mata saya sangatlah besar, yakni 1,5 M. Saya sendiri berandai-andai saat itu, jika punya uang sebesar itu, saya akan kembali ke kota saya, beli tanah di sekitar kampus, lalu membangun rumah kos. Setelahnya, bisa menikmati hari-hari dengan berkebun sambil menunggui kos, dengan pemasukan utama uang sewa kos. Wah, sudah cukup mewah dan nyaman bagi saya, biarpun hanya sekedar berangan-angan.
Rupanya angan saya itu sangat berbeda dengan pemikiran tetangga saya yang memang sekian puluh tahun biasa berurusan dengan bidang usaha. Ternyata uang 1,5 M tersebut diinvestasikan ke perusahaan yang sedang trend saat itu, kalau tidak salah perkebunan di luar pulau jawa. Kebetulan lagi, yang mengajaknya berinvest adalah teman sendiri, sehingga tanpa ragu untuk mengiyakan. Dengan hitungan bisnis yang masuk akal, ada pemasukan kurang lebih sama dibandingkan saat belum pensiun. Beberapa bulan di awal, janji 10 % keuntungan masuk ke rekening, dan diinvestasikan lagi. Hanya saja, malapetaka kemudian menghampiri saat tidak ada lagi dana keuntungan yang masuk rekening. Teman yang tadi pun sulit dihubungi. Sekali bisa dihubungi dan minta penjelasan, hanya menambah frustasi karena dia juga bilang hal yang sama. Intinya, setelah 3-4 bulanan terus berusaha mengejar kejelasan tentang uangnya dan stress karenanya, dapat diambil kesimpulan bahwa ia sudah tertipu. Uang pensiunan 1,5 M hasil bekerja giat 40 tahun lenyap. Angan menikmati masa pensiun dengan tenang dan nyaman berganti penyesalan tak kunjung usai.
Bulan berikutnya, harus kembali ke realitas. Saya pribadi merasa salut. Dengan tekanan batin beitu besar dan kebiasaan 40 tahun terbiasa menangani pekerjaan atau perkara besar, tetangga saya tadi mau dengan rendah hati memulai usaha baru dari nol. Bisa dibilang begitu karena memang benar-benar dari nol semuanya. Bahkan modal awal untuk membeli 2 buah mesin jahit beserta benang jarum dan perlengkapannya pun hasil dibantu anaknya. Salut juga, dia tidak mau pasrah diri dan merepotkan anak-anaknya dengan tetap berusaha mencari penghasilan. Jika biasanya mengurusi hal-hal besar, kini ia harus mengurusi hal-hal yang sangat kecil, seperti belanja benang, jarum, kain, menghitung biaya makan pegawai, dan lain sebagainya. Dari terbiasa dipercaya dan terpercaya untuk hal-hal besar mewakili perusahaan, kini ia harus membangun kepercayaan dari orderan receh, harus bisa meyakinkan orang lain bahwa ia memang bisa dipercaya bahkan untuk order omset hanya puluhan ribu nilai uangnya. Bahkan pemasukan bersihnya pun sangatlah kecil. Sungguh sebuah perubahan drastis. Di sisi lain, banyak juga orang yang menjadi stress dan tidak mampu bertahan dengan malapetaka yang senada.
Bagaimana dengan sekarang-sekarang ini? Dua tahun ini, mulai tahun 2020 ternyata banyak juga peristiwa yang memaksa orang kadang harus berubah drastis. Dari badai PHK karena efek pandemi covid-19, terjadi juga perubahan besar dalam kehidupan banyak orang, seperti yang dialami tetangga saya 20 tahun lalu. Jika mau bertahan, harus berani memulai dari nol. Harus bisa membangun usaha atau kerja baru, yang artinya juga harus membangun kepercayaan orang lain. Caranya sama, yakni menjadi pribadi yang setia dengan hal-hal atau perkara kecil, tanggung jawab terhadap hal dan kepercayaan orang lain. Jika ingin berkembang menjadi besar, maka harus dapat diandalkan untuk perkara kecil. Ini merupakan sebuah tantangan yang tidak mudah bagi yang sudah terbiasa berada di atas. Tetapi ada sebuah kisah yang mungkin bisa ambil hikmatnya. Hal seperti ini juga pernah dialami oleh seorang raja.
Pada abad ke-9, Inggris di bawah Raja Alfred berperang dengan kerajaan tetangganya. Karena persiapan Raja Alfred kurang, mereka pun terdesak. Singkat kata, bala tentara Raja Alfred kocar-kacir dan tercerai-berai melarikan diri. Demikian pun Raja Alfred terpaksa masuk hutan dan bersembunyi. Atribut kerajaan dilepaskannya, diganti dengan pakaian orang biasa supaya ia tidak dikenali sebagai raja.
Beberapa hari kemudian, ketika suasana sudah agak tenang, Raja Alfred keluar dari persembunyiannya. Di tepi hutan, dia melihat sebuah gubuk. Dengan hati-hati dia mendekati gubuk itu dan bertemu dengan pemiliknya.
“Ibu yang baik, berbelas kasihanlah kepada saya. Saya ke- laparan dan tidak punya punya tempat tinggal, biarlah saya boleh menumpang di sini,” demikian Raja Alfred memohon.
Tapi dengan nada tinggi si ibu menolak. “Apa? Menumpang di gubukku? Tidakkah kamu lihat bahwa kami orang miskin? Tidak bisa! Tidak bisa! Kamu pasti menjadi beban bagi kami,’
kata si ibu sambil bersiap-siap menutup pintu gubuknya kem bali.
“Benar Bu. Namun bagaimanapun Ibu masih memiliki gubuk untuk berteduh dan melindungi diri dari angin, dan binatang buas. Sedangkan saya ini panas, hujan, orang malang dan tidak mempunyai apa-apa,” kata Raja Alfred memelas. “Anggaplah saya sebagai buruh tani dan sebagai upahnya cukuplah saya diberi makanan dan tumpangan.”
Mendengar permintaan itu, si petani miskin menjawab, “Baiklah kalau begitu. Kebetulan saya sedang memanggang roti, dan sebagai tugas pertamamu, jagalah ini supaya tidak gosong. Saya mau ke ladang sebentar mengambil sayur tambahan.”
Si ibu pun meninggalkan Raja Alfred sendirian menjaga panggangan roti.
Namun karena Raja Alfred masih terlalu sedih memikirkan kekalahannya dan pasukannya yang tercerai-berai, hatinya tidak berada pada tugas dan tanggung jawab barunya. Akibatnya, roti itu pun gosong.
Tidak lama berselang, pemilik gubuk beserta suaminya pulang. Mendapati roti gosong bangkitlah amarah si ibu. “Hei lelaki tak tahu diri. Engkau ini orang busuk, mengaku gelandangan kelaparan, tetapi diberi tugas sederhana saja tidak rampung!” Namun dengan secepat kilat, si ibu ditarik suaminya ke belakang. “Eh, tahukah kamu siapa yang sedang kamu marahi itu?” kata si suami setengah berbisik kepada istrinya, berusahaa tidak didengar oleh tamunya. “Dari tadi kuperhatikan, dia bukan rakyat jelata. Kudengar perang sudah usai. agar suaranya Pasukan Raja Alfred tercerai-berai dan konon baginda bersembunyi di sekitar sini. Menurutku, yang sedang kamu marahi itu adalah Raja Alfred sendiri.”
Si ibu sangat terkejut. Segera ia pun bersujud, “Baginda, maafkan saya yang telah berani lancang memarahi junjungan sendiri.”
Tetapi Raja Alfed berkata, “Tidak apa-apa Bu, ini salahku. Aku memang lalai. Kepercayaan kecil yang Ibu berikan kepadaku tidak kulaksanakan dengan baik. Jadi, sudah sepatutnyalah Ibu marah.”
Singkat cerita, demikianlah Raja Alfred berlindung beberapa lama waktunya di gubuk tersebut sampai keadaan membaik, tenang, dan akhirnya dia kembali ke istananya. Konon keluarga petani miskin itu diajak oleh raja tinggal di sekitar istana dan mereka menjadi sabahat.
Kisah di atas menceritakan sebuah perubahan drastis yang harus dialami oleh seorang raja. Dari yang biasa dilayani atau memerintah, tahu-tahu harus memohon, diperintah, dan mengerjakan hal yang sepele. Dari yang biasanya segala titahnya dipercaya 100% dan harus dipatuhi, kini harus menjalankan titah rakyat biasa dan menanggung tanggung jawab untuk hal kecil. Dan faktanya, dia tidak bisa diandalkan bahkan hanya untuk hal sepele.
Dari pengalamannya ini, Raja Alfred belajar banyak tentang rasa menghargai orang lain, menghargai segala jenis pekerjaan dan pelayanan orang-orang di kerajaannya, dan belajar untuk memulai setia dalam perkara kecil, belajar agar diandalkan untuk perkara kecil. Karena besarnya kerajaannya, adalah dimulai dari pribadi dan perkara kecil dari setiap rakyatnya.
Jadi, apakah Saudara sedang memulai lagi semuanya dari awal lagi? Tidak apa-apa, dengan berjalannya waktu, pasti akan menjadi besar kembali. Yang terpenting kita awali dengan setia mengerjakan dari yang kecil-kecil, dan menjadi pribadi yang dapat diandalkan bahkan untuk hal yang receh. Karena, bagaimana orang akan memberikan kita sebuah kepercayaan, pekerjaan, bisnis yang besar, jika untuk hal yang kecil saja kita tidak mampu?
Salam…. (By Set)
“Barangsiapa setia dalam perkara-perkara kecil, ia setia juga dalam perkara-perkara besar.”
Lukas 16:10a